Empat Hari Terjebak, Warga Aceh Tamiang Berjuang Menyelamatkan Diri
![]() |
| Banjir yang melanda Aceh (Dok. Ist) |
JawaUpdate.com - Banjir besar yang menenggelamkan Kabupaten Aceh Tamiang meninggalkan trauma mendalam bagi warganya.
Ketinggian air yang mencapai sekitar tiga meter membuat banyak orang membandingkan bencana ini dengan tsunami Aceh yang terjadi dua puluh tahun silam. Bedanya, kali ini air datang dari sungai yang meluap, bukan dari laut.
Wahyu Putra Pratama, warga Kampung Dalam di Kecamatan Karang Baru, masih tampak terpukul saat menceritakan kembali kejadian tersebut. Ia mengaku tidak pernah membayangkan akan menghadapi banjir sehebat ini.
Menurut penuturan Wahyu, air mulai masuk ke permukiman setelah Magrib, pada Rabu malam, 26 November 2025.
Warga langsung berbondong-bondong menuju kantor Komite Peralihan Aceh (KPA) untuk mengungsi, terutama untuk menyelamatkan anak-anak.
Namun rasa aman itu tidak berlangsung lama. Dalam waktu singkat, air naik dengan kecepatan yang di luar nalar.
“Air naik cepat sekali, setinggi kabel listrik, sekitar tiga meter, rumah sudah hancur semua,” ucap Wahyu.
Rumah-rumah warga porak-poranda dalam hitungan menit. Situasi semakin mencekam ketika mereka harus bertahan selama lima hari tanpa kepastian kapan air akan surut.
Selama terperangkap, warga memanfaatkan apa pun yang bisa ditemukan untuk bertahan hidup.
Ada yang mengambil kelapa, ada pula yang mengikat pinggangnya ke pagar atau benda berat supaya tidak hanyut terbawa arus. Semua dilakukan demi tetap hidup sampai keadaan membaik.
Tak hanya kehilangan harta benda, Wahyu mengatakan banyak tetangganya yang juga kehilangan nyawa. Ratusan rumah di kampungnya rusak berat, sebagian hanya menyisakan tanah dan fondasi.
Kisah duka yang sama juga dialami Ishak, akrab disapa Kureng yang tinggal di Desa Menang Gini, Karang Baru.
Malam itu, air tiba-tiba menerjang kampungnya hingga mencapai dua meter hanya dalam beberapa saat, kemudian terus naik hingga sekitar 3,5 meter.
Ishak hanya sempat memastikan keluarganya selamat. Seluruh barang berharga, bahkan pakaian, terseret arus yang sangat kuat.
Ia dan keluarga harus bertahan empat hari empat malam sebelum kondisi mulai membaik dan mereka dapat keluar mencari makanan.
Menurutnya, kebutuhan mendesak saat ini sangat banyak bahan makanan, air bersih, serta obat-obatan, terutama bagi balita dan bayi yang mulai terserang demam.
Kedua kisah itu hanyalah sebagian kecil dari ribuan cerita pilu yang lahir akibat banjir besar Aceh Tamiang tahun ini.
Desa-desa luluh lantak, korban jiwa berjatuhan, dan ratusan keluarga kini berjuang kembali menata hidup di tengah keterbatasan.
Bantuan mulai berdatangan, tetapi para penyintas berharap penanganan tidak berhenti begitu saja. Mereka membutuhkan pemenuhan kebutuhan dasar dengan cepat dan tepat.
Bagi warga yang selamat, bencana ini bukan sekadar genangan air. Ini adalah pengalaman mengerikan yang akan mereka kenang sepanjang hidup, sebuah luka yang masih basah dan butuh waktu lama untuk pulih.
